Jurnalisme Damai vs Jurnalisme Perang
Derasnya arus informasi
zaman Globalisasi saat ini menuntut kita untuk pandai dan bijak. Kita jangan hanya sebagai konsumen informasi tapi
sudah harus menjadi produsen informasi.
Sebagai muslim kita harus mengambil peran dalam mengumpulkan mengolah
informasi yang akan disebarluaskan ke tengah masyarakat.
Kita harus menjadi
insan Jurnalis yang memegang teguh
prinsip prinsip kemanusiaan. Penebar perdamaian. Memberitakan hal-hal yang bisa menciptakan
perdamaian bukan sebaliknya memperkeruh suasana atau bahkan menciptakan koflik
baru.
Satu hal yang menjadi
tantangan terkini adalah soal terorisme. Bagaimana kita sebagai Muslim Jurnalis dan
Jurnalis Muslim menyikapi itu semua. Contohnya
pengeboman Paris, dalam berbagai pemberitaan setelah kejadian tersebut, media
baik mainstream maupun sempalang
terbelah menjadi dua. Satu sisi
mengangkat dengan gaya Jurnalisme damai, sisi lain dengan gaya jurnalisme
perang.
Bagi yang menyokong
Jurnalisme perang, pemberitaannya cenderung meng-ekpose
pemberitaan sisi-sisi kekejaman pelaku serta menampilkan gambar-gambar yang
tidak layak publish, seperti luka dan darah yang tanpa sensor (blur). Yang
diangkat adalah sisi-sisi yang akan memperkeruh suasana dan aenhnya ada juga yang
mencoba mengkait-kaitkan dengan konflik di bumi lain, seperti Palestina, Syria
dan Irak dan lainnya.
Mereka hendak membangun
opini bahwa seolah-olah antara kejadian di Paris karena akibat langsung dari
kebijakan Pemerintahan Paris saat ini yang ikut terlibat di Syria dan
sekitarnya. Paris dianggap memilki peran yang ‘keliru” di negeri Syria dengan mengirimkan pasukannya
ke sana, sehingga kejadian di Paris ada bagian dari balas dendam dari pihak
yang dirugikan.
Opini dan pemberitaan
seperti ini banyak dijumpai di media online. Inilah merupakan contoh dari
Jurnalisme perang yang coba disebarkan sebagian masyarakat tertentu di berbagai
layanan media online.
Bagi tinjauan
kemanusian sikap ini sangat naïf, bagaiamana tidak, Paris berduka dan terluka
terlepas dari mereka Negara Barat yang tidak memiliki ideologi yang sama dengan
kita namun sebagai manusia, kita harus memberikan dukungan moral. Ini bukan
soal konflik agama ataupun ideology tapi masalah politik dan keamanan sebuah
Negara. Sehingga mencoba menghubungkan dengan agama tertentu adalah sebuah
tindakan yang tidak bijaksana.
Disinilah peran Jurnalisme
sebagai agen pencerah atau obor perdamaian yang senantiasa memberikan informasi
dan berita yang sejuk dan member rasa perdamaian dan toleransi, bukan sebaliknya
memperkeruh dan memancing antipati dari kubu lainnya.
Kita harus bisa
memaknai dengan baik tentang jurnalisme damai.
Kata jurnalistik berasal dari bahasa Belanda ‘journalistiek’ . Sedangkan “journalism” diambil dari bahasa
Inggris “journalism”. Namun, pada
dasarnya kata ini berasal dari kata ‘jounal’ atau de jour (perancis) dari
bahasa latin “diurnal” artinya harian atau setiap hari. Secara istilah,
Jurnalisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan pekerjaan mengumpulkan,
menulis, mengedit dan menerbitkan berita di surat kabar.
Sedangkan pengertian
perdamaian dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah penghentian permusuhan
atau perselisihan.
Sehingga jurnalisme
damai bisa diartikan sebagai sebuah aktifitas jurnalisme yang mengedepankan berita
yang bertujuan menghentikan perselisihan atau permusuhan kedua belah pihak atau
lebih. Jurnalisme perdamaian adalah kritik terhadap jurnalisme perang
(jurnalisme yang fokus pada konflik atau kejadian kekerasan).
Jurnalisme perang
bukannya menyelesaikan permasalahan namun memunculkan konflik baru akibat
pemberitaannya.
Heni Puspawati dalam
tulisannya yang berjudul ‘jurnalisme damai dan jurnalisme perang mengatakan
bahwa media memiliki kekuatan untuk mempengaruhi public melalui proses framing
(pembingkaian) berita, pengemasan dan penggambaran fakta dan pemilihan sudut
pandang serta penempatan foto dan gambar.
Dengan demikian bisa
dikatakan, jurnalisem seperti pedang bermata dua. Bisa digunakan ke a rah
perdamaian atau sebaliknya tergantung manusia yang memegangnya. Ada sebuah adagium berbunyi, ‘the man behind the
gun’. Dalam dunia jurnalistik, The Gun
nya adalah sebuah Pena atau tulisan. Pena tergantung si empunya pena. Mau
diarahkan kemana tulisan kita tergantung Dia.
Di dalam jurnalisme
perdamaian, pertikaian atau konflik sebagai masalah yang harus segera diatasi.
Sementara jurnalisme perang, perang merupakan hal yang menarik untuk diekspos.
Suko Widodo, dalam
artikelnya bertema ‘prinsip kerja jurnalisme damai’ mengatakan, pemberitan
jurnalisme damai didasarkan pada pendekatan win-win
solution, tidak memandang siapa yang kalah atau menang sedangkan jurnalisme
perang pendekatannya adalah kalah menang (win-lose).
Dilihat dari objek
pemberitaan, jurnalisme perang tertarik pada konflik/kekerasan, korban yang
tewas dan kerusakan material. Semantara jurnalisme damai hal yang menarik untuk
dberitakan adalah kerusakan dan kerugian psikologis, budaya dan penderitaan
korban konflik.
Jurnalisme damai
mengarah pada pemberitaan yang bersifat human
interest.
Jurnalisme perdamaian
adalah jurnalisme yang didasarkan pada esensi dasar kemanusiaan (humanisme).
Kegiatan jurnalisme yang merendahkan martabat manusia seperti pemberitaan
kekejaman perang dengan menampilkan foto-foto yang seharusnya tidak layak untuk
diekspos secara vulgar adalah termasuk jurnalisme perang. Media massa ini hanya
fokus pada kekerasan sebagai penyebab dan tidak mau menggali asal-usul struktural
sebuah konflik secara mendalam. Jurnalisme model seperti ini oleh Johan Galtung diistilahkan sebagai Jurnalisme
Perang (Hae, Marpaung dan Setiawan,2000:61).
Sedangkan menurut Mc
GoldRick dan Lynch, Jurnalisme Damai adalah Jurnalisme yang melaporkan suatu
kejadian dengan Bingkai (frame) yang lebih luas, yang lebih berimbang, dan
lebih akurat yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan
perubahan-perubahan yang terjadi.
JD membuka peluang pada
pemahaman “non-kekerasan” (no-violence) dan kreatifitas seperti yang
diaplikasikan sehari-hari oleh para Jurnalis dalam membuat liputan. Jurnalisme
damai mempunyai tiga tugas utama yaitu memetakan konflik, mengidentifikasi
pihak-pihak yang terlibat dan menganalisa tujuan-tujuan mereka dan membicarakan
informasi yang mereka sediakan dalam agenda khusus mereka (Mc GoldRick dan
Lynch,2001:20-21). Dengan kata lain, memanusiakan manusia dengan memberikan
solusi konflik dan menyediakan ruang dialog pada pihak-pihak yang bertikai.
Jurnalisme perang atau
konflik adalah sebuah proses peliputan yang tidak memperhatikan aspek-aspek
kemanusiaan dalam peliputan fakta-fakta di lapangan. Salah satunya dengan labeling (pemilihan kata) yang bisa mengarah pada konflik misalnya
“pembunuh”, “begal”, “perang salib kedua”, “jihad” dan sebagainya yang
memberikan label (cap) pada kelompok tertentu (Nuruddin, 2006).
Menurut Algoth
Putranto, Jurnalisme Perang (JP) cenderung fokus pada peristiwa kekerasan
sebagai penyebab konflik tidak berusaha menyelami struktur dan asal muasal
konflik.
Sebagai Muslim yang
memiliki tugas dakwah sebagai bentuk menyiarkan ruh Islam yang damai, sudah
semestinya turut berperan dalam mengembangkan Jurnalisme Damai. Juga sebagai Agen of Change Sehingga Jurnalisme bisa menjadi alat untuk mencapai
masyarakat yang penuh toleransi dan Perdamaian.
Komentar
Posting Komentar